Kejenuhan Masyarakat Pasaman di Tengah Ketidakpastian Politik: Saatnya Demokrasi Mendewasa

welly-suhery-dan-parulian-dalimunte

Kejenuhan Masyarakat Pasaman: Demokrasi yang Terjebak dalam Siklus Ketidakpastian

Meski Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Pasaman telah menetapkan pasangan Welly Suhery–Parulian Dalimunte sebagai pemenang Pilkada dalam pleno pada 23 April 2025, proses demokrasi di kabupaten ini belum benar-benar menemui garis finis. Penetapan ini merupakan hasil dari Pemungutan Suara Ulang (PSU) yang sebelumnya Piklada Serentak 2024, menyusul diskualifikasi pasangan Welly Suhery–Anggit Kurniawan oleh Mahkamah Konstitusi atas hasil Pilkada pada 27 November 2024.

Ironisnya, meskipun Welly kembali muncul sebagai pemenang, kini bersama wakil baru Parulian Dalimunte, dua kontestan lainnya—Maraondak–Desrizal dan Sabar AS–Sukardi—resmi menolak hasil pleno KPU. Mereka menuding adanya kejanggalan di sejumlah TPS dan berjanji menempuh jalur hukum. Kwmungkinan gugatan ke Mahkamah Konstitusi menjadi babak baru dalam drama politik Pasaman yang seperti tak kunjung usai.

Publik tentu tidak menafikan hak setiap pasangan calon untuk menempuh jalur konstitusional. Namun, yang menjadi sorotan adalah efek domino dari proses politik yang tak berkesudahan ini. Masyarakat Pasaman—yang notabene adalah subjek utama dari demokrasi itu sendiri—kian jenuh dan kelelahan. Fitra, seorang ibu rumah tangga, mengeluh, “Alah tu panek wak, pilkada ka pilkada sajo,” yang menggambarkan kejenuhan kolektif warga yang harus terus kembali ke TPS untuk memilih, namun tak kunjung melihat stabilitas hasil.

Dalam kerangka Teori Rasional Pemilih (Downs, 1957), warga cenderung akan membuat keputusan politik berdasarkan perhitungan untung-rugi. Jika proses politik dianggap terlalu memakan waktu, melelahkan, dan tak memberikan manfaat konkret, maka keengganan untuk berpartisipasi adalah reaksi yang wajar. Pemilih mulai merasa bahwa biaya politik lebih besar daripada manfaatnya.

Riset dari UGM pada 2019 menemukan bahwa lebih dari 60% pemilih muda merasa jenuh dengan terlalu seringnya pemilu, sementara survei Litbang Kompas mencatat bahwa hampir 40% masyarakat mengalami kebosanan akibat tingginya intensitas pemilihan. Ini berpotensi melahirkan apatisme politik yang menggerogoti partisipasi dan legitimasi demokrasi lokal.

Di sisi lain, PSU bukanlah proses yang ringan. Berdasarkan kajian Hamdan Kurniawan, anggota KPU DIY periode 2018–2023, satu TPS membutuhkan anggaran hingga enam juta rupiah. Pengadaan logistik harus dilakukan dalam waktu singkat, dengan tenggat maksimal sepuluh hari, menciptakan tekanan besar pada penyelenggara. Suasana politik pun menjadi tegang. Tuduhan pergeseran suara, potensi provokasi, hingga kekhawatiran konflik horizontal, membuat aparat keamanan harus bersiaga ekstra.

Sayangnya, yang dirugikan bukan hanya negara dari sisi anggaran, tapi juga masyarakat sebagai pemilik kedaulatan. Kepercayaan terhadap proses demokrasi bisa terkikis. Semangat berpartisipasi bisa memudar. Dan yang tersisa adalah kejenuhan sosial yang sulit dipulihkan.

Sudah saatnya elit politik di Pasaman menahan diri dan menunjukkan kedewasaan demokrasi. Bila jalur hukum ditempuh, maka biarlah dijalani tanpa narasi provokatif yang memperkeruh suasana. Proses hukum harus dimaknai sebagai bagian dari mekanisme demokrasi, bukan sebagai ajang pembuktian kekuasaan semata.

Karena jika demokrasi hanya menjadi ajang menang-kalah tanpa empati terhadap rakyat, maka demokrasi kehilangan maknanya. Yang tinggal hanyalah formalitas prosedural—dan kejenuhan masyarakat yang makin menguat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *