Lubuk Sikaping: Jejak Administrasi Kolonial hingga Penetapan Hari Jadi Pasaman

Sumber foto: FB Sumatera Barat Tempo Dulu

Lubuk Sikaping — Terletak di lembah Sungai Batang Pasaman, Lubuk Sikaping tidak hanya dikenal sebagai ibu kota Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, tetapi juga menyimpan rekam jejak sejarah panjang sejak era kolonial Belanda. Perannya sebagai pusat administrasi dan perjuangan menjadikannya saksi penting transformasi Pasaman dari wilayah terjajah menuju kemerdekaan.

Pembagian Wilayah Kolonial Belanda
Pada masa Hindia Belanda (1904), Sumatera Barat dibagi menjadi beberapa afdeling (distrik besar). Lubuk Sikaping masuk dalam Afdeling Agam yang dikelola Asisten Residen Belanda. Afdeling Agam terbagi lagi menjadi empat onder afdeling: Agam Tuo, Maninjau, Lubuk Sikaping, dan Ophir.

Di bawah Onder Afdeling Lubuk Sikaping, terdapat dua distrik utama: Lubuk Sikaping dan Rao. Masing-masing distrik dibagi menjadi onder distrik seperti Bonjol dan Silayang. Sistem ini mencerminkan strategi Belanda dalam mengontrol wilayah hingga tingkat terkecil, termasuk pengaturan pajak dan tenaga kerja paksa.

Pergeseran Pusat Pemerintahan Pasca-Kemerdekaan
Setelah Indonesia merdeka (1945), struktur pemerintahan kolonial dirombak. Onder Afdeling Lubuk Sikaping dan Onder Afdeling Ophir digabungkan menjadi Kabupaten Pasaman. Awalnya, ibu kota kabupaten ini berpusat di Talu (kini wilayah Pasaman Barat).

Pada Agustus 1947, keputusan penting diambil oleh Bupati pertama Pasaman, Basyrah Lubis, untuk memindahkan ibu kota ke Lubuk Sikaping. Pertimbangan utamanya adalah lokasi strategis kota ini: terhubung dengan jalur perdagangan Padang-Bukittinggi dan dikelilingi bentang alam yang mudah dipertahankan. Pemindahan ini menandai babak baru Lubuk Sikaping sebagai pusat politik, ekonomi, dan budaya Pasaman.

Penetapan Hari Jadi Kabupaten Pasaman
Pada 1992, Pemerintah Daerah Pasaman dan DPRD setempat menetapkan 8 Oktober 1945 sebagai Hari Jadi Kabupaten Pasaman. Tanggal ini merujuk pada Keputusan Residen Sumatera Barat No. R.I/I (8 Oktober 1945) yang mengangkat Abdul Rahman gelar Sutan Larangan sebagai kepala Luhak Kecil Talu. Keputusan tersebut diresmikan melalui:

  1. Keputusan DPRD Pasaman No. 11/KPTS/DPR/PAS/1992
  2. Surat Keputusan Bupati Pasaman No. 188.45/81/BUPAS/1992

Sejak itu, setiap tahunnya, tanggal 8 Oktober diperingati sebagai momentum refleksi sejarah dan penguatan identitas masyarakat Pasaman.

Warisan Kolonial yang Masih Bertahan
Beberapa bangunan peninggalan Belanda masih dapat dijumpai di Lubuk Sikaping, seperti:

  • Kantor Pos Lubuk Sikaping dengan arsitektur bergaya Indies.
  • Pasar Lubuk Sikaping, yang awalnya merupakan gudang penyimpanan komoditas seperti kopi dan rempah.
  • Jalan Sudirman, dihiasi deretan pohon trembesi berusia lebih dari 100 tahun, ditanam pada masa kolonial.

Lubuk Sikaping Kini: Menjembatani Masa Lalu dan Modernitas
Kini, Lubuk Sikaping tidak hanya menjadi pusat pemerintahan, tetapi juga wilayah dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di Pasaman, terutama di sektor perkebunan karet dan sawit. Pembangunan infrastruktur seperti jalan lingkar dan pusat pendidikan terus dilakukan, tanpa menghapus jejak sejarah yang terpateri di tiap sudut kota.

Dari masa kolonial hingga otonomi daerah, Lubuk Sikaping tetap berdenyut sebagai jantung Pasaman — mengingatkan bahwa kemajuan sebuah daerah tidak boleh melupakan akar sejarahnya.

Rujukan: Dr. Suryadi | LIAS – SAS Indonesië, Universiteit Leiden, Belanda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *