Kabupaten Pasaman lama dikenal dengan gelombang suaranya yang riuh: masyarakat menyesuaikan ritme harian dengan jinggle radio lokal, menikmati hit terbaru, dan menyimak kabar desa gelombang FM. Reza FM pernah menjadi episentrum kehidupan—pengisi ruang tunggu warung kopi, teman petani di sawah, hingga andalan pelajar menanti jadwal pengumuman sekolah. Namun seiring waktu, gelombang itu layu. Mesin pemancar tak lagi menyala, studio ditinggalkan, dan warga beralih ke aplikasi streaming yang menjanjikan segalanya di ujung jari.
Keheningan ini bukan sekadar hilangnya hiburan; ia menandai kerapuhan ekosistem media lokal di Pasaman. Tanpa stasiun radio komunitas, suara-suara kecil: pengumuman nagari, cerita petani salak, bahkan suara adzan petang, kian sulit mencapai pendengar yang terbiasa dengan analog. Dunia digital memang menawarkan kemudahan, tetapi sinyal internet di perbukitan dan lembah Pasaman kerap terputus—membiarkan banyak desa terisolasi dari laju informasi modern.
Di tengah kesunyian itu, langkah Lembaga Penyiaran Publik RRI Bukittinggi untuk memperkuat sinergi dengan Pemerintah Kabupaten Pasaman menjadi titik terang. Pada Kamis, 12 Juni 2025, rombongan RRI Bukittinggi yang dipimpin Kepala LPP Abdul Gafar Zakaria diterima hangat Bupati Welly Suhery dan Kepala Dinas Kominfo Budhi Hermawan. Pembicaraan berfokus pada penguatan nota kesepahaman sebelumnya, agar RRI tidak hanya mengandalkan frekuensi terestrial, tetapi juga platform digital: YouTube, Instagram, dan kanal media sosial lain demi menjangkau generasi muda serta wilayah dengan keterbatasan infrastruktur internet.
Sinergi ini membuka peluang lahirnya kembali “suara” Pasaman. Jika Pemkab menyediakan dukungan operasional—ruang studio komunitas, insentif iklan lokal, dan pelatihan SDM—sementara RRI menyediakan jaringan distribusi dan platform digital, maka mimpi Reza FM generasi baru bukan mustahil. Model hybrid, yang memadukan siaran FM tradisional dengan streaming online, akan menjadi jembatan antara nostalgia gelombang lokal dan tuntutan zaman.
Namun tantangan terbesar tetap pada komitmen bersama. Tanpa ketersediaan anggaran yang berkelanjutan dan kader penyiar dari kalangan muda, inisiatif ini bisa kembali tersendat. Komunitas mahasiswa, LSM, dan pelaku UMKM di Pasaman harus ambil bagian—mengisi program talkshow pertanian, budaya minang, hingga layanan publik daring.
Pada akhirnya, kebangkitan radio lokal di Pasaman bukan sekadar soal frekuensi yang menyala, melainkan denyut nadi sebuah masyarakat yang ingin didengar, dan mampu mendengar. Jika kerangka kolaborasi antara RRI Bukittinggi dan Pemkab Pasaman dapat diimplementasikan secara konkret, maka suara desa kembali menemukan panggungnya, membawa harmoni informasi dan identitas lokal yang pernah terhenti.
Disadur dari RRI.co